Sebuah kamus yang hendak mencakup banyak hal merupakan proyek gigantis dan tidak berkesudahan. Dua minggu lalu, kamus terbitan Kementerian Pengajaran dan Kebudayaan bertajuk Kamus Sejarah Indonesia (KSI) memantik percakapan publik yang kontroversial. Kontroversinya pun merambah ke kawasan politik dan menjadi bahan politisasi beberapa kalangan—sesuatu yang tidak terhindarkan di tengah kemudahan jalan masuk dan komunikasi yang terbuka ketika ini.
Politisasi tersebut tentu ku-institute.id saja berada di luar jangkauan orang-orang yang bertanggung jawab atas produksi kamus serta pihak-pihak yang secara tulus memberi masukan, dalam hal ini kalangan nahdiyin. Bagi saya, apa yang secara efektif bisa dilakukan merupakan merevisi isi kamus dengan menetapkan berjenis-jenis masukan dan via serangkaian uji publik.
Kamus yang diterbitkan dalam dua jilid itu memang perlu dibenarkan. Masukan yang berasal dari tinjauan substantif dan metodologis merupakan keniscayaan dalam dunia akademik. Kritik bisa lahir dari masyarakat, organisasi sosial, ataupun kalangan akademisi dan sejarawan—sebagai bagian dari community practice dalam suatu knowledge network—demi mematangkan naskah buku itu supaya siap saji di hadapan publik.
Direktur Jenderal Kebudayaan Dr. Hilmar Farid secara terbuka sudah membeberkan bahwa naskah tersebut sesungguhnya belum final. Naskah dijilid sebagai bahan untuk laporan pertanggungjawaban tutup tahun anggaran 2017. Prof. Dr. Susanto Zuhdi sebagai editor juga sudah menguraikan bahwa ada hal yang belum tuntas dilakukan dalam pengaturan antarlema, tapi profesi penyusunan tersebut berakhir dan tidak berlanjut pada tahun selanjutnya.
Proyek yang Terus Menerus
Karya semacam KSI memang patut terus diperbarui seiring lahirnya lema-lema baru, adanya referensi anyar yang memperkaya narasi atas lema atau pun mempersembahkan lema baru, dan munculnya perubahan keadaan sehingga suatu kabar atau peristiwa baru muncul baru-baru ini.
Ensiklopedia atau kamus di bidang sains dan teknologi barangkali lebih kencang dibutuhkan pemutakhirannya dibanding bidang ilmu sosial. Berdasarkan Neil J. Smelser dan Paul B. Baltes dalam International Encyclopedia of the Social and Behavioral Sciences (2001), pemutakhiran ensiklopedia atau kamus ilmu sosial lazimnya dilakukan setiap sepertiga abad. Edisi pertama Encyclopæia Britannica, misalnya, diterbitkan pada 1768, lalu diubah secara mendasar dan diperluas pada edisi kedua tahun 1777. Edisi ke-14 tahun 1929 dalam puluhan volume dinyatakan sebagai ensiklopedia dengan sistem revisi berkelanjutan.
Penyusun ensiklopedia merupakan orang yang pakar di bidangnya dan bisa diganti tatkala ada revisi atau penambahan lema/bidang baru. Keterlibatan publik (dalam hal ini para pakar) juga dibuka. Dalam kasus KSI, keputusan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) pada Selasa (22/4/2021) yang mendesak supaya Kemendikbud merevisinya secara transparan dengan melibatkan para pakar (sejarawan; media; leksikografer; akademisi) merupakan ideal belaka.
Menyadari keadaan semacam itu, maka permasalahan metodologis menjadi demikian itu penting sehingga strategi penyusunan kepada leksikon terpilih, perspektif atau pendekatan, serta teknis pemilihan referensi yang mewadahi suatu kamus bisa diketahui publik. Dan yang tidak kalah penting: mendudukkan limitasinya.
Sayangnya, dalam KSI kita tidak menemukan penjelasan metodologis tersebut. Kita hanya menjumpai keterangan di “Kata Pengantar” yang ditulis Direktur Sejarah Kemendikbud perihal tujuan penulisan kamus, merupakan sebagai “daftar kabar kesejarahan yang bisa memudahkan guru lebih-lebih dan lazimnya masyarakat luas dalam mencari istilah-istilah sulit yang tak jarang ditemukan dalam pembelajaran sejarah”. Pendeknya, KSI bertujuan untuk menyokong aktivitas pembelajaran kelas. Tentu ini tujuan mulia dan betul-betul dibutuhkan, meskipun tidak berarti mengacuhkan penjelasan metodologis yang digunakan.
Pijakan Periodisasi
Kita juga tidak menjumpai penjelasan mengenai periodisasi yang membagi KSI menjadi dua jilid: Jilid I Nation Formation (1900-1950); Jilid II Nation Building (1951-1998). Periodisasi dengan membagi hampir sempurna menjadi dua bagian separuh abad itu tidak awam, apalagi separuh abad pertama disebut sebagai era “Formasi Kebangsaan” (Nation Formation) dan separuh abad kedua merupakan era “Pembangunan Kebangsaan” (Nation Building). Akan ada banyak diskusi soal periodisasi dalam bentang satu abad tersebut; misalnya hal sederhana perihal dasar penggunaan batas tahun 1950-1951. Penjelasan perihal periodisasi diinginkan bisa ditambahkan di bab pengantar/pendahuluan.
Aku menghindari diskusi tersebut dan berkeinginan menyebut konsekuensi penggunaan pendekatan periodisasi berkaitan dengan lema yang dibentuk secara alfabetis. Tatkala masing-masing jilid mempersembahkan lema A sampai Z, maka akan muncul permasalahan bagaimana menetapkan tokoh, peristiwa, atau organisasi yang masih berdampak melintasi periode yang berbeda di dalam kedua jilid tersebut. Bagaimana pula mempersembahkan narasi mengenai organisasi yang bersifat evolutif atau sosok yang memiliki peranan di beberapa era yang berbeda?
Penyajian yang mengulang lema A-Z pada kedua jilid itu justru akan berpeluang mubazir, anakronis, atau, sebaliknya, menarasikan dalam jilid awal meskipun suatu lema yang dinarasikan masih berlangsung sampai jilid kedua. Lema dalam buku yang bersifat voluminous seperti ensiklopedia atau kamus awam dibentuk secara alfabetis berurutan jilid demi jilid.
Desain dan Acuan
Ensiklopedia atau kamus tematis lazimnya dibentuk oleh regu yang didampingi dengan serangkaian ketetapan (term of references) di bawah pengkurasian atau peyuntingan tertentu. Dari penyusunan lema, misalnya, ia bisa didasarkan pada nama tokoh, lembaga, organisasi, daerah, peristiwa penting, konsep, karya monumental, dan sebagainya, demikian disebut Noer Fauzi Rachman dalam artikel bertajuk “Gagasan Pembuatan Ensiklopedia Studi dan Dokumentasi Agraria Indonesia” (2019).
Tiap-tiap lema dinarasikan dengan referensi yang terang. Historical Dictionary of Indonesia (HDI) karya Robert Cribb dan Audrey Kahin (2004) mencantumkan kode referensi di akhir narasi lema. Lepas sependapat atau tidak dengan deskripsi yang disematkan, kamus ini terang secara metodologis dan bisa diverifikasi. Pembaca juga bisa memeriksa referensi pada daftar pustaka.